TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Istilah “super flu” kembali mencuat seiring lonjakan kasus influenza di Amerika Serikat yang dikaitkan dengan Influenza A (H3N2) subclade K.

Negara bagian New York mencatat rekor kasus flu tertinggi dalam satu minggu, dengan lebih dari 70 ribu kasus positif dan kenaikan rawat inap hingga 63 persen. 

Subvarian ini juga dilaporkan mendominasi musim flu 2025/2026 di sejumlah negara Eropa.

Menanggapi kekhawatiran publik terkait potensi masuknya “super flu” ke Indonesia, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Unismuh Makassar, dr Nurmila MKes SpPD meminta masyarakat bersikap proporsional.

“Tidak perlu panik, tetapi kewaspadaan dan pencegahan harus diperkuat,” ujarnya, Selasa (30/12/2025).

Ia menegaskan, istilah “super flu” bukan terminologi medis. “Secara ilmiah yang dibahas adalah H3N2 subclade K.

Hingga kini belum ada bukti kuat bahwa varian ini lebih mematikan, namun peningkatan kasus yang cepat berpotensi membebani layanan kesehatan,” jelasnya.

Baca juga: Demam dan Flu Dominasi Keluhan Pasien di IGD RSUD Syekh Yusuf Gowa

Potensi Masuk Indonesia

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menilai potensi masuknya varian ini cukup besar seiring tingginya mobilitas internasional, bahkan disebut kemungkinan sudah ada jika melihat pola penyebaran penyakit pernapasan lintas negara.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan hingga November 2025 belum ditemukan kasus influenza akibat subclade K. Surveilans genomik melalui NIC masih menunjukkan dominasi H3N2 clade 3C.2a.

Menurut dr. Nurmila, kedua informasi tersebut tidak saling bertentangan. Risiko masuk tetap ada, namun kepastian memerlukan pemeriksaan genomik spesifik yang belum menjadi pemeriksaan rutin di semua fasilitas kesehatan.

Perhatian Orang Tua

Secara klinis, influenza H3N2 umumnya menyerupai flu musiman, seperti demam, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit kepala, pegal, dan lemas. Namun, kelompok rentan—terutama balita, lansia, ibu hamil, dan penderita komorbid—berisiko mengalami kondisi berat.

Karena itu, ia mengimbau orang tua fokus pada pencegahan penularan dan pengenalan tanda bahaya. Upaya pencegahan meliputi vaksin influenza tahunan sesuai rekomendasi dokter, kebiasaan cuci tangan, etika batuk dan bersin, serta penggunaan masker saat bergejala. Anak yang sakit sebaiknya beristirahat di rumah untuk mencegah penularan.

Tanda bahaya yang perlu segera diperiksakan meliputi napas cepat atau sesak disertai tarikan dinding dada atau bibir kebiruan, demam tinggi yang menetap, anak tampak sangat lemas, tanda dehidrasi, kejang, atau penurunan kesadaran.

“Masalah utama sering kali bukan virusnya, tetapi keterlambatan mengenali tanda bahaya dan mengakses layanan kesehatan,” ujarnya.

Perkuat Surveilans dan Edukasi Publik

Pada level kebijakan, dr. Nurmila menilai penguatan surveilans influenza dan pemeriksaan genomik pada sampel sentinel, terutama di pintu masuk negara dan rumah sakit rujukan, menjadi langkah krusial.

Ia juga menekankan pentingnya komunikasi risiko yang jelas agar masyarakat tidak terjebak istilah yang menakutkan. “Jika publik memahami ini sebagai influenza yang bermutasi, responsnya akan lebih rasional: vaksinasi, perilaku hidup bersih dan sehat, serta segera berobat bila muncul gejala berat,” katanya.

Vaksin Tetap Penting

Terkait efektivitas vaksin, ia menegaskan vaksin influenza tetap relevan untuk menurunkan risiko sakit berat dan rawat inap, meski efektivitasnya dapat bervariasi tiap musim.

“Isu ‘super flu’ seharusnya menjadi pengingat bahwa influenza bukan penyakit ringan, terutama bagi kelompok rentan. Kewaspadaan, vaksinasi, dan respons cepat tetap menjadi kunci,” katanya.(*) 

Contact to : xlf550402@gmail.com


Privacy Agreement

Copyright © boyuanhulian 2020 - 2023. All Right Reserved.