TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Peredaran obat-obatan asal China yang diklaim mampu menyembuhkan berbagai penyakit serius semakin marak di masyarakat. Produk-produk tersebut dengan mudah ditemukan di berbagai platform e-commerce, lengkap dengan klaim khasiat yang menggiurkan, mulai dari menyembuhkan tumor, kanker, stroke, hingga meningkatkan daya tahan tubuh. Harga yang relatif terjangkau dan janji kesembuhan cepat membuat sebagian masyarakat, terutama penderita penyakit kronis, tergoda untuk mencobanya meski tanpa jaminan uji klinis yang jelas.

Baca juga: Obat China Banyak Beredar di Marketplace, Ahli Sebut Berbahaya

Pantauan Tribunnews menunjukkan, salah satu produk yang banyak beredar adalah Chang Sheuw Tian Ran Ling, obat berkemasan hijau yang diklaim mampu mengobati kanker, kista, dan miom. Di sejumlah marketplace, obat ini dijual dengan harga sekitar Rp302.250 untuk 30 kapsul. Selain itu, terdapat pula obat sirup Fufang Ejiao Jiang dengan kemasan kuning-oranye yang dibanderol sekitar Rp23.000 per botol 20 ml, yang diklaim berkhasiat untuk demam berdarah dan tifoid.

Sementara itu, salah satu produk dengan harga paling mahal adalah Angkung Dragon, yang disebut-sebut mampu menyembuhkan stroke. Harga obat ini bervariasi, mulai dari Rp520.000 hingga Rp3,6 juta, tergantung paket dan jumlah isinya.

Produk-produk tersebut umumnya dipasarkan sebagai obat tradisional atau herbal alami dengan klaim manjur dan aman. Narasi inilah yang membuat masyarakat tertarik, terutama mereka yang telah lama menjalani pengobatan medis namun belum mendapatkan hasil yang diharapkan.

Salah satu pengguna obat China, Ita (38), mengaku pernah mengonsumsi obat impor asal Negeri Tirai Bambu tersebut setelah menjalani operasi tumor payudara sebanyak tiga kali.

“Saya sudah tiga kali operasi tumor payudara, pertama tahun 2012, 2016, dan terakhir 2021,” ujar Ita kepada Tribunnews, Selasa (30/12/2025).

Ita menuturkan, setelah operasi ketiganya, ia mengonsumsi obat Yunnan Baiyao yang dibelikan oleh kakaknya. Obat tersebut diklaim dapat membantu mempercepat pemulihan pascaoperasi.

“Waktu itu dibeliin setelah operasi payudara. Lumayan cepat membantu pemulihannya,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga sempat mengonsumsi Angkung Dragon Merah. Meski mengaku merasa terbantu, Ita menyebut harga obat-obatan tersebut tergolong mahal dan kini lebih banyak dijual secara daring.

Diketahui, Yunnan Baiyao diklaim memiliki manfaat untuk menghentikan pendarahan, meredakan nyeri, mengurangi bengkak dan memar, serta mempercepat penyembuhan luka operasi. Sementara Angkung Dragon Merah kerap dipromosikan sebagai obat stroke dan kejang.

Banyak Dijual Online, Minim di Apotek

Penelusuran Tribunnews menemukan bahwa sebagian besar obat China tersebut jarang ditemukan di apotek resmi. Namun, produk serupa masih mudah dijumpai di marketplace dan toko daring.

Baca juga: Obat China Dijual Bebas di Marketplace, Testimoni Pembeli: Tumor Payudara Saya Sembuh

Selain Chang Sheuw Tian dan Angkung Dragon, obat China lain yang cukup populer di pasaran antara lain Die Da Yao Jing, Lo Han Kuo, Salep Pi Kang Suang, Nin Jiom Pei Pa Koa, Fufang Ejiao Jiang, serta Medicated Oil. Harga obat-obatan ini bervariasi, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung klaim khasiat dan jumlah produk.

Pakar UGM Ingatkan Bahaya

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, mengingatkan bahwa sebagian besar obat China yang beredar tersebut belum pernah melalui uji ilmiah yang memadai.

“Klaim manjur inilah yang membuat masyarakat merasa aman, padahal produk tersebut tidak pernah diuji secara ilmiah,” ujar Zullies saat dihubungi Tribunnews.com.

Menurutnya, efek cepat yang dirasakan pengguna bisa jadi berasal dari kandungan bahan kimia obat yang tidak dicantumkan dalam label. Apalagi, sebagian besar produk menggunakan bahasa China sehingga konsumen tidak mengetahui komposisi yang sebenarnya.

Zullies menegaskan, risiko terbesar terletak pada aspek keamanan jangka panjang. Dampak negatif sering kali tidak langsung terasa, tetapi bisa muncul setelah penggunaan rutin, seperti gangguan lambung, kerusakan hati dan ginjal, gangguan hormon, hingga peningkatan tekanan darah dan gula darah.

“Pada pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, jantung, atau gangguan ginjal, konsumsi obat ilegal jauh lebih berbahaya karena bisa berinteraksi dengan obat dokter,” jelasnya.

Ia juga menyoroti banyaknya kasus pasien yang datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi memburuk, tanpa menyadari bahwa penyebabnya adalah obat ilegal yang sebelumnya dikonsumsi.

BPOM Hadapi Tantangan Pengawasan

Dari sisi regulasi, Zullies menegaskan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebenarnya telah memiliki kewenangan dan aturan yang kuat. Namun, pola distribusi obat ilegal yang kini banyak melalui media sosial, grup tertutup, dan jalur lintas negara membuat pengawasan semakin sulit.

Baca juga: Kepala BPOM Taruna Ikrar Inisiasi Pengembangan Obat Herbal Lewat Kolaborasi WHO IRCH

“Sering kali BPOM baru bisa bertindak setelah produk telanjur beredar luas. Literasi masyarakat terhadap risiko obat juga masih rendah,” katanya.

Ia menambahkan, persoalan peredaran obat China ilegal tidak bisa hanya dibebankan kepada BPOM. Diperlukan kolaborasi lintas sektor serta penegakan hukum yang tegas, mengingat permintaan masyarakat terhadap obat instan masih tinggi.

“Selama permintaan tinggi, suplai akan terus ada. Ini persoalan bersama yang harus diselesaikan dari hulu ke hilir,” tegasnya.

Contact to : xlf550402@gmail.com


Privacy Agreement

Copyright © boyuanhulian 2020 - 2023. All Right Reserved.