TRIBUNJABAR.ID - Nama Made Kartikajaya jarang muncul di baliho, minim terdengar dalam pidato panjang. Namun di Papua hingga Aceh, jejak kerjanya justru hidup dan bergerak. Ia hadir bukan sebagai tokoh yang gemar bicara, melainkan sebagai pekerja lapangan yang memastikan satu hal: program negara benar-benar sampai, bekerja, dan berdampak nyata bagi masyarakat khususnya Aceh.
Dalam perjalanan jurnalistik menelusuri Papua Youth Creative Hub (PYCH) dan Aneuk Muda Aceh Unggul Hebat (AMANAH), satu nama terus disebut oleh anak-anak muda, tokoh adat, pelaku UMKM, hingga aparat daerah Made Kartikajaya. Bukan dengan nada pengultusan, melainkan dengan rasa kedekatan.
“Made itu seperti orang tua kami,” kata pemuda Papua. Made juga pembina PYCH saat itu.
Saat menjabat sebagai Deputi IV Bidang Intelijen Ekonomi Badan Intelijen Negara (BIN), Made Kartikajaya mendapat mandat langsung dari Kepala BIN kala itu, Jenderal Polisi (Purn) Prof. Dr. Budi Gunawan, untuk mengawal implementasi program strategis pemberdayaan pemuda. Mandat itu bukan sekadar administratif. Ia menuntut kehadiran fisik, konsistensi, dan keberanian turun ke wilayah yang selama ini kerap dipandang sulit dan kompleks.
Berbeda dari pendekatan birokratis yang kerap berhenti di laporan dan rapat, Made memilih jalan lain. Ia hadir langsung di Jayapura, Timika, Wamena, Banda Aceh, hingga pelosok desa di Papua dan Aceh.
Setiap bulan, selama satu hingga dua minggu, ia berada di lapangan menyapa pemuda, berdiskusi dengan tokoh adat, mengunjungi kebun, kolam bioflok, bengkel kerja, dan ruang-ruang kreatif. Pendekatannya sederhana: hadir, mendengar, bekerja bersama.
Dari hanya 23 anak muda Papua yang tergabung dalam Papua Muda Inspiratif (PMI), gerakan ini berkembang menjadi Papua Youth Creative Hub (PYCH) dengan lebih dari 15.000 pemuda dari tujuh wilayah adat Papua. Angka itu bukan sekadar statistik. Ia merepresentasikan perubahan sosial: anak-anak muda yang sebelumnya ragu, kini percaya diri mengelola usaha kopi, pertanian, perikanan, fashion, produk digital, hingga konten kreatif.
Keberhasilan PYCH tidak berhenti di Papua. Model yang sama direplikasi di Aceh melalui AMANAH Youth Creative Hub, yang kini menghimpun lebih dari 21.000 pemuda. Di sana, anak muda Aceh bergerak di sektor ekonomi kreatif, e-commerce, pertanian modern, hingga pengolahan komoditas unggulan seperti kopi dan nilam. Semua bergerak dalam satu ekosistem yang hidup tanpa ketergantungan pada figur, tanpa kultus individu.
Gaya kepemimpinan Made Kartikajaya kerap diringkas oleh para pemuda dengan satu kalimat: sedikit bicara, banyak menampilkan hasil. Ia tidak membangun panggung untuk dirinya sendiri. Ia justru membangun panggung bagi orang lain. Anak muda didorong menjadi aktor utama, bukan peserta pasif. Mereka diberi ruang untuk mengambil keputusan, mencoba, gagal, lalu belajar. Pendampingan dilakukan melalui keteladanan, bukan instruksi.
Dalam praktiknya, Made menanamkan nilai disiplin, kejujuran, dan kerja keras, tanpa mencabut akar budaya lokal. Ia tidak datang membawa label “penolong”, melainkan membawa semangat “kita tumbuh bersama”. Di Papua, ia menghormati struktur adat. Di Aceh, ia menyatu dengan nilai-nilai lokal. Pendekatan ini membuatnya diterima lintas generasi dan lintas budaya sebuah modal sosial yang tak bisa dibangun lewat kebijakan tertulis semata.
Sebagai figur intelijen ekonomi, Made Kartikajaya menunjukkan bahwa keamanan nasional tidak selalu dibangun dengan pendekatan keras. Stabilitas justru tumbuh ketika anak muda diberi harapan, pekerjaan, dan ruang untuk berkembang. PYCH dan AMANAH menjadi contoh bagaimana pemberdayaan ekonomi dan sosial mampu memperkuat kohesi masyarakat sekaligus mencegah konflik.
Menariknya, Made Kartikajaya hampir tak pernah menuntut pengakuan publik. Jejak kerjanya justru lebih mudah ditemukan lewat dokumentasi kegiatan anak-anak muda di media sosial PYCH, AMANAH, dan ratusan konten yang menampilkan hasil kerja kolektif. Baginya, keberhasilan bukan diukur dari seberapa sering namanya disebut, melainkan dari seberapa banyak manusia yang bangkit dan berdiri di atas kakinya sendiri.
Dalam konteks pembangunan nasional, sosok Made Kartikajaya merepresentasikan tipe pemimpin lapangan yang langka: arsitek kebijakan sekaligus arsitek implementasi. Ia tidak membiarkan strategi berhenti di meja rapat. Ia memastikan strategi itu berjalan di kebun, di bengkel, di UMKM, dan di ruang kreatif yang dihidupi anak-anak muda.
Buku Menggapai Potensi Tanpa Batas mencatat kiprah Made Kartikajaya bukan sebagai glorifikasi individu, melainkan sebagai dokumentasi atas sebuah pendekatan. Pendekatan yang membuktikan bahwa pembangunan manusia dari akar rumput bukan utopia, melainkan kerja nyata yang bisa direplikasi.
Jika model ini diperluas secara nasional, Indonesia tidak hanya memiliki infrastruktur, tetapi juga generasi muda yang mandiri, produktif, dan berdaya menuju Indonesia Emas 2045.
Contact to : xlf550402@gmail.com
Copyright © boyuanhulian 2020 - 2023. All Right Reserved.